Peci Sukarman, Barang Paling Diburu Jamaah Masjid Istiqlal

JAKARTA. DMKTv,- Sejak fajar menyingsing pada Jumat (6/6), ribuan jamaah dari berbagai penjuru memadati Masjid Istiqlal di Kelurahan Pasar Baru, Jakarta, untuk mengikuti rangkaian ibadah Idul Adha 1446 Hijriah.

Udara pagi terasa sejuk, tapi ramai oleh derap langkah dan suara takbir dari pengeras suara. Aroma nasi goreng dan kopi sachet hangat bercampur di udara. Sementara itu, cahaya lampu masjid memantul pada marmer kecoklatan, menerangi wajah-wajah yang berseri menyambut hari raya.

Di tengah kerumunan itu, selain makanan dan minuman, satu barang yang paling dicari adalah peci. Peci bukan sekadar pelengkap pakaian bagi jamaah laki-laki yang ingin menjalankan shalat Idul Adha dengan sempurna, melainkan juga simbol kesalehan.

Namun peci kerap dilupakan oleh jamaah pria saat hendak beribadah di masjid. Momentum inilah yang dimanfaatkan secara jitu oleh Sukarman sebagai peluang bisnis.

Sukarman bukan hanya pedagang biasa. Pria murah senyum yang berasal dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ini adalah bagian dari pengurus Masjid Istiqlal dan sudah tinggal beberapa tahun terakhir di kompleks masjid terbesar se-Asia Tenggara itu.

Sebagai orang yang sehari-hari berada di lingkungan masjid, Sukarman jeli membaca pola keramaian. Ia menyadari bahwa hari besar keagamaan seperti Idul Adha adalah momen langka yang mendatangkan puluhan ribu jamaah. Dari sanalah ia menangkap peluang bisnis yang tidak hanya menguntungkan, tapi juga sesuai dengan semangat pelayanannya.

“Ya beginilah kadang ada jamaah datang buru-buru, lupa bawa peci. Saya bantu sediakan, sambil tetap melayani,” ujarnya.

Lapak Sukarman terletak di selasar lantai dua aula utama, tepat di sisi kanan tangga gerbang Al-Fattah Istiqlal yang menghadap langsung ke Gereja Katedral. Lokasi itu sangat strategis karena menjadi jalur utama masuk jamaah sejak pukul 04.00 WIB pagi. Dari sana, ia melayani para pembeli yang datang dengan tujuan beribadah sekaligus membawa pulang kenangan.

Peci yang dijual Sukarman pun dapat dikatakan bukan peci biasa. Terbuat dari bahan bludru hitam, dihiasi bordir benang emas bergambar Masjid Istiqlal dan tulisan huruf hijaiyah.

Ukurannya pun bervariasi, mulai dari lingkar kepala kecik dinomor 4 sampai dengan 12 (62 sentimeter) semua disediakan. Harga yang dipatok pun terjangkau, Rp50.000 per buah dan dengan sistem pembayaran fleksibel, karena selain tunai juga ia menerima transfer dari dompet digital melalui QRIS.

Jamaah tampak menyerbu meja lapak peci Sukarman yang cuma ada satu-satunya, membuat suasana pagi itu seperti pasar kecil di tengah rumah ibadah. Dengan cekatan, ia melayani satu per satu pembeli, sambil tetap menjaga senyum ramah.

Belum genap satu jam lapak dibuka, tiga kardus peci ludes terjual, masing-masing berisi sepuluh buah.

Saat azan subuh berkumandang dan imam memanggil jamaah untuk shalat berjamaah, Sukarman menutup lapaknya sejenak. Ia ikut menunaikan shalat, menyatu dalam lautan manusia yang memenuhi aula utama Masjid Istiqlal.

Ia baru kembali membuka lapaknya di tempat yang sama, setelah semua rangkaian shalat fardu subuh disusul shalat sunnah Idul Adha dan khutbah pagi itu berakhir, yang baru selesai pada pukul 08.15 WIB.

Hari raya kurban tahun ini sepertinya jadi keberuntungan Sukarman. Meski baru pertama kali meniagakan peci tapi dalam waktu singkat dimana matahari belum berdiri di atas kepala, sebanyak 70 peci sudah berhasil terjual. Artinya, sekitar Rp3,5 juta sudah ia kantongi.

Kepribadian dari sosok Sukarman ini patut untuk dipedomani sebab, ia tidak menganggap cuan yang didapatkan itu sebagai keuntungan pribadi, walaupun memang peci-peci itu dibuat dengan modalnya sendiri.

“Yang penting cukup untuk modal lagi, dan ada yang bisa saya sisihkan sebagian untuk kas masjid,” ujarnya penuh keikhlasan.

Melayani jamaah bukan sekadar soal berdagang bagi Sukarman. Di tengah kesibukannya, ia juga menjadi tempat bertanya bagi banyak jamaah di Istiqlal.

Entah itu jamaah laki-laki maupun perempuan kerap menghampirinya untuk sekadar menanyakan lokasi toilet, ruang wudhu, penitipan barang hingga tempat istirahat lansia.

Hal ini cukup lumrah mengingat Masjid Istiqlal di bangunan dengan luas hampir 10 hektare hingga dapat menampung lebih dari 200 ribu jamaah. Dari sini kehadiran sosok seperti Sukarman menjadi sangat berarti.

Akbar Jusuf, seorang jamaah asal Kota Depok, Jawa Barat mengaku dirinya lupa membawa peci kesukaannya karena berangkat terburu-buru demi mengejar waktu shalat subuh berjamaah.

Alumnus Universitas Islam Indonesia ini merasa kurang percaya diri jika tidak mengenakan peci hitam. Oleh sebab itu tanpa ragu sesampainya di Istiqlal, ia langsung membeli peci dari lapak Sukarman.

“Memang sunnah dan rasanya belum afdal kalau Shalat Idul Adha tanpa peci. Semua orang disini memakai peci, memakai penutup kepala dianggap sebagai bentuk etika dan kehormatan dalam Islam,” katanya.

Lilies, ibu rumah tangga dari Pekanbaru, Riau, bahkan memborong lima peci sekaligus untuk suami dan anak-anaknya. “Bordirnya bagus, ada gambar masjidnya. Bisa jadi kenang-kenangan yang bermakna,” tuturnya.

Mayoritas jamaah pria di Istiqlal pagi itu memang tampak mengenakan peci dengan ragam motif dan warna. Dari warga biasa hingga pejabat tinggi negara, peci menjadi bagian dari seragam spiritual mereka.

Presiden RI Prabowo Subianto yang ikut shalat Idul Adha juga mengenakan peci hitam bersama sejumlah pejabat negara lainnya seperti Ketua MPR RI Ahmad Muzani, Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, hingga Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya yang duduk persis di sebelah Presiden.

Shalat Idul Adha di Masjid Istiqlal tahun ini diikuti sekitar 100 ribu hingga 150 ribu jamaah, sebagaimana dilaporkan panitia penyelenggara. Antrean panjang jamaah sudah terlihat sejak sebelum waktu shalat subuh, terutama di Gerbang Al-Fattah yang dilangsungkan pemeriksaan ketat oleh Paspampres.

Istiqlal benar-benar menjadi ruang ibadah yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam semangat yang sama. Agaknya, kehadiran Sukarman semakin melengkapi suasana itu.

Lewat peci yang dijualnya dengan ketulusan, Sukarman mengajarkan bahwa pelayanan tak selalu berbentuk besar tapi kadang cukup hadir, membantu, dan berbagi di saat yang paling dibutuhkan. Dari lapak sederhananya di Istiqlal, ia menjahit nilai-nilai ibadah, kerja keras, dan kepedulian dalam satu benang yang sama.

Di tengah gema takbir yang membelah langit Jakarta, peci-peci itu bukan sekadar penutup kepala. Ia adalah saksi diam keikhlasan seorang Sukarman, ​​​​​ penjaga kecil dalam megahnya rumah ibadah terbesar di negeri ini, yang bekerja tanpa sorot kamera.

*(M. Riezko Bima Elko Prasetyo/ANTARA)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments