Oleh: Dahlan Iskan, Mantan Menteri BUMN
DMKtv,- Rabu 29-10-2025
Saat di Hangzhou saya dapat kiriman WA. Saya tahu pengirimnya: Adharta. Ia pengusaha sukses di Jakarta. Kelahiran Alor –pulau kecil nun jauh di NTT.
Isi WA akan bercerita sendiri kepada Anda. Awalnya saya mengira itu cerita fiksi dari seorang sastrawan yang ia forward ke saya. Tapi saya lihat tidak ada tanda ”forward”. Berarti cerita itu tulisan Adharta sendiri.
Saya ragu. Kok ada pengusaha sukses yang bisa menulis mengalahkan tulisan saya. Terlalu banyak pengusaha yang mengalahkan saya dalam hal mencari uang. Tapi ini dalam hal menulis.
Nama Mandarinnya: 王国逸. Berarti marganya Wang. Atau di Indonesia sering disebut Ong.
Pak Ong begitu bangga dilahirkan di Alor. Setiap kali bertemu Pak Ong mengajak saya ke Kalabahi –kota pelabuhan di Alor. Adharta selalu bercerita indahnya teluk Kalabahi. Tentang ikannya. Tentang air terjun di bukitnya. Tentang buah-buahan langkanya. Misalnya: mangga kelapa. Mangga tapi besarnya sebesar kelapa.
Adharta selalu bangga: itulah buah yang hanya ada di Kalabahi.
Adharta selalu merasa: begitu indahnya masa kecil di Kalabahi. Alamnya eksotik sekali. Ia masih selalu pulang ke Kalabahi. Untuk cingbing. Makam orang tuanya ada di sana.
Keluarga besar Adharta juga masih banyak di Kalabahi. Sudah kawin-mawin dengan orang setempat. Ia tak kalah bangga: bahwa Hasan Ashari Oramahi adalah familinya. Yakni penyiar radio Australia yang legendaris itu. Juga penyiar RRI yang sekali di udara tetap di udara.
Rupanya Adharta multitalenta. Di samping pintar cari uang ia juga sangat pintar menulis. Apalagi kalau itu menyangkut ‘bencana’ yang menimpa keluarganya sendiri.
“Kian menderita seseorang, kian bagus tulisannya”. Entah siapa yang punya pendapat seperti itu.
Maka ketika Anda membaca tulisan Adharta di bawah ini Anda akan menemukan kata ”saya” dalam cerita itu. Rasanya mustahil ”saya” di situ adalah si kaya Adharta. Tapi begitulah kenyatannya. Itulah jalan hidupnya.
Waktu bencana Covid, Adharta mendirikan lembaga relawan Covid. Besar sekali. Ia sendiri akhirnya kena Covid. Beberapa kali. Pernah Covid-nya tidak sembuh-sembuh.
Ia terkena long Covid: pendengarannya terganggu. “Stereo di telinga saya tidak berfungsi. Bertahun-tahun,” katanya. “Sampai sekarang pun stereo itu belum sembuh total. Hanya sekarang tidak perlu lagi pakai alat bantu dengar,” katanya.
Adharta, dalam tulisannya ini, bercerita tentang anak wanitanya: Maria.
Inilah tulisan asli Adharta. Anda pun akan sulit percaya. Jadi seorang pengusaha kaya ternyata tidak harus kehilangan kemampuan kesastrawanannya:
***
Awal dari Cinta
Oleh : Adharta
Langit Beijing sore itu seperti kanvas raksasa berwarna jingga keemasan.
Di tengah hembusan angin musim semi yang lembut,
Maria berdiri di depan cermin kamarnyi, mengenakan cheongsam putih bersulam bunga peoni sebagai simbol cinta dan keberuntungan.
Hari itu adalah hari pernikahannyi.
Di luar, musik lembut mengalun dari restoran klasik di Jalan Wangfujing, salah satu sudut paling hidup di jantung kota Beijing.
Lampion merah bergoyang perlahan, memantulkan cahaya ke wajah-wajah bahagia.
Kelvin, pria yang telah merebut hatinyi sejak tahun pertama kuliah, berdiri menunggu di altar kecil yang dihiasi bunga sakura. Senyumnya menenangkan seperti matahari pagi.
Mereka mengucap janji di hadapan keluarga dan sahabat, dengan tawa dan air mata yang bercampur jadi satu.
Malam itu, pesta berlangsung hingga larut.
Di antara suara biola dan denting gelas anggur, Maria merasakan dunia berhenti sejenak seolah seluruh kebahagiaan dunia berhimpun di dadanyi.
Maria bukan wanita biasa.
Dia lulusan Beijing University dengan predikat summa cumlaude. Begitu lulus, dia langsung diterima di perusahaan ”BUMN” besar sebagai supervisor muda.
Kariernya melesat cepat, dan banyak yang mengagumi, bukan hanya karena kecerdasan, tapi juga kerendahan hatinyi.
Sementara Kelvin, lulusan psikologi, memilih jalan berbeda.
Ia bergabung sebagai konselor militer membantu para prajurit yang terluka secara mental setelah bertugas di medan perang.
Pekerjaan itu membuatnya sering absen dari rumah, tapi setiap kali pulang, ia selalu membawa senyum yang sama: hangat, tulus, penuh cinta.
Dua tahun pertama pernikahan mereka adalah masa-masa yang indah.
Mereka tertawa di dapur kecil, berbagi mie panas saat hujan turun, dan menulis surat cinta kecil di dinding rumah.
Ketika Maria mendapat promosi, Kelvin merayakannya dengan menari di ruang tamu sambil memutar lagu Mandarin lama.
”Cintaku padamu tidak butuh alasan,” kata Kelvin suatu malam, menatap Maria yang tertidur di pangkuannya.
”Kalau hidupku berakhir esok, aku ingin tahu bahwa aku pernah membahagiakanmu.”
Maria tersenyum dalam tidur. Ia tak tahu, kalimat itu kelak menjadi kenangan terakhir yang terus terngiang di hatinyi.
Maria berkata, ”Kalau aku tiada kelak kamu orang pertama yang ada di sisiku”.
Empat tahun berlalu.
Maria dan Kelvin dikaruniai seorang putra mungil bernama Sandy, bayi dengan mata bulat seperti ayahnya dan senyum lembut seperti ibunya.
Hidup mereka terasa sempurna. Setiap sore, Maria menunggu di balkon sambil memeluk Sandy, menantikan Kelvin pulang dengan seragam militernya yang berdebu.
Namun takdir sering kali tidak memilih waktu yang baik untuk memberi ujian.
Suatu pagi, telepon berdering.
Suara di seberang terdengar berat dan kaku.
“Maaf, Nyonya Kelvin…
suami Anda mengalami kecelakaan saat bertugas.
Ia tidak selamat.”
Dunia Maria runtuh dalam sekejap.
Suara di sekelilingnyi lenyap.
Ia jatuh berlutut, memeluk telepon yang dingin, seakan dari sana ia bisa menarik kembali suara suaminyi.
Malam itu, salju turun tipis di luar jendela, putih dan senyap, seperti menutupi semua warna kehidupannyi.
Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut.
Maria berhenti bicara.
Ia datang ke makam Kelvin setiap hari, duduk diam di bangku batu, membaca ulang surat-surat cinta lama.
”Kenapa kamu pergi begitu cepat?” bisiknyi berulang kali.
Satu tahun berlalu. Ia masih menatap foto pernikahan mereka setiap malam.
Senyum Kelvin seolah hidup, tapi tak lagi bisa disentuh.
Suatu hari, ibunyi menelepon dari Jakarta.
”Maria, datanglah ke sini sebentar. Bawa Sandy. Udara di sini hangat, mungkin bisa menyembuhkanmu.”
Maria diam lama, menatap langit Beijing yang kelabu.
Akhirnya, ia mengemas beberapa pakaian dan terbang bersama Sandy menuju Indonesia.
Jakarta menyambut mereka dengan cahaya matahari yang lembut dan aroma hujan di sore hari.
Maria tinggal di rumah orang tuanyi di Menteng.
Setiap pagi ia berjalan bersama Sandy ke taman kecil, mendengarkan suara anak-anak tertawa, sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.
Hari-hari di Jakarta terasa asing tapi perlahan menenangkan. Maria mulai belajar bahasa Indonesia dari tetangga dan sopir rumah.
Dalam waktu tiga bulan, ia sudah bisa berbicara dengan lancar dengan logat lembut dan intonasi yang membuat orang jatuh hati.
Hingga suatu hari, kabar datang dari Beijing:
Perusahaan tempatnyi bekerja ingin membuka kantor perwakilan di Indonesia, dan mereka menginginkan Maria memimpin proyek itu.
Maria terdiam. Ada perasaan yang campur aduk: rindu, takut, tapi juga panggilan hati yang kuat.
Mungkin ini cara Kelvin memintanya untuk bangkit.
Sebuah kebangkitan dari luka.
Maria menerima tawaran itu.
Dia kembali bekerja dengan tekad baru.
Dalam waktu singkat, dia berhasil menjembatani banyak investasi antara Tiongkok dan Indonesia. Media menulis tentangnyi sebagai “Wanita Baja dari Beijing”: cerdas, tegas, dan berjiwa pemimpin.
Namun di balik sorot kamera dan senyum profesional, Maria tetap menyimpan kesedihan yang dalam.
Setiap malam, setelah semua orang tidur, ia menatap langit Jakarta dan berbisik, ”Kelvin, kau lihat? Aku sudah belajar tersenyum lagi.”
Anaknyi, Sandy, tumbuh menjadi anak yang lembut dan penuh kasih.
Ia sering memeluk ibunya dari belakang sambil berkata,
“Papa pasti bangga sama Mama.”
Dan setiap kali mendengar itu, air mata Maria jatuh perlahan bukan karena sedih, tapi karena hatinyi mulai berdamai.
Suatu malam, Maria bermimpi.
Kelvin datang dengan pakaian putih, menatapnyi dari kejauhan.
”Jangan lagi menangis, Maria,” katanya pelan. “Cintaku kini menjadi angin yang menemanimu setiap langkah.”
Saat terbangun, Maria merasa dada yang selama ini berat tiba-tiba terasa ringan.
Dia menatap foto pernikahan mereka di meja, dan untuk pertama kalinya dalam lima tahun, dia tersenyum tanpa air mata.
Lima belas tahun telah berlalu sejak hari pernikahan itu.
Maria kini dikenal sebagai salah satu tokoh investor Tiongkok di Indonesia yang paling berpengaruh.
Dia tak pernah menikah lagi. Hatinyi telah tertambat pada satu cinta yang abadi, cinta yang tak lagi berupa kehadiran fisik, tapi menjadi cahaya yang membimbing setiap langkahnyi.
Suatu pagi, Maria berdiri di depan cermin, kini dengan rambut yang sedikit beruban.
Sandy sudah dewasa, dan hari itu ia hendak berangkat lagi ke Beijing untuk kuliah.
Sebelum pergi, Sandy mencium tangan ibunya dan berkata,
“Mama, di Beijing nanti aku ingin ke makam Papa. Ada pesan?”
Maria tersenyum lembut.
”Katakan padanya… aku sudah belajar tertawa tanpa ia, tapi tak pernah berhenti mencintainya.”
Ketika pesawat lepas landas, Maria duduk di taman, memandangi langit biru Jakarta. Di antara dedaunan yang bergoyang, ia merasakan hembusan angin lembut menyentuh pipinyi seolah ada tangan yang dulu pernah memeluknyi dengan kasih.
Dia menatap langit, menutup mata, dan berbisik, ”Kelvin… perjalanan hatiku belum berakhir. Aku masih berjalan di jalan yang sama jalan cinta yang kau mulai.”
Langit tampak lebih terang hari itu.
Mungkin karena cinta memang tak pernah benar-benar pergi. Dia hanya berganti wujud — dari pelukan menjadi angin, dari kenangan menjadi kekuatan, dari air mata menjadi cahaya. (*)
Baca dari sumbernya:
https://disway.id/catatan-harian-dahlan/907659/cahaya-adharta











